Mata-publiknusantara.com, Palembang,-Di dunia Pendidikan, Perguruan Tinggi Swasta non-profit memiliki peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memperluas akses pendidikan tinggi bagi masyarakat. Sebagian besar kampus swasta non-profit beroperasi bukan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk menjalankan misi sosial, pendidikan, dan pengabdian kepada masyarakat. Namun, dalam praktiknya, banyak kampus tersebut masih dibebani oleh kewajiban pajak yang sejatinya lebih relevan dikenakan kepada entitas bisnis yang berorientasi laba.
Kampus swasta non-profit mengandalkan sumber pendanaan utama dari biaya pendidikan, sumbangan alumni, serta hibah. Beban pajak atas kegiatan operasional, seperti Pajak Penghasilan (PPh) atas pengelolaan aset, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas jasa pendidikan tambahan, atau pajak bumi dan bangunan (PBB) atas fasilitas kampus, hal ini dapat mengurangi kapasitas lembaga dalam meningkatkan mutu layanan pendidikan. Akibatnya, alokasi dana yang seharusnya dapat digunakan untuk peningkatan kualitas dosen, penelitian, serta pengembangan sarana belajar, justru terserap untuk memenuhi kewajiban pajak.
Penghapusan pajak bagi kampus swasta non-profit merupakan bentuk pengakuan negara terhadap fungsi sosial pendidikan tinggi. Langkah ini selaras dengan semangat konstitusi yang menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan tanggung jawab negara untuk memfasilitasinya. Dengan kebijakan penghapusan pajak, pemerintah dapat mendorong terciptanya sistem pendidikan tinggi yang lebih berkeadilan, berkelanjutan, dan berorientasi pada mutu, bukan sekadar profit.
Lebih jauh, penghapusan pajak bagi kampus non-profit juga akan memperkuat kolaborasi antara sektor publik dan swasta dalam membangun SDM unggul. Negara dapat mengarahkan kebijakan fiskal pendidikan untuk mendukung keberlangsungan lembaga non-profit yang berintegritas, transparan, dan berkontribusi nyata terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Terkhusus di kota Palembang, tantangan pembiayaan pendidikan tinggi yang semakin berat, persaingan kampus yang semakin meningkat, sarana prasarana harus memadai, maka dari itu kampus swasta non-profit kini berharap pada pemerintahan kota Palembang pada satu hal: yaitu penghapusan pajak. Selama ini, lembaga pendidikan yang seharusnya berfokus pada pengabdian sosial dan peningkatan mutu akademik justru masih dibebani kewajiban pajak layaknya badan usaha yang mencari keuntungan.
Kampus swasta non-profit, seperti yayasan pendidikan dan universitas berbasis sosial, sebenarnya beroperasi dengan prinsip nirlaba. Seluruh pendapatannya dikembalikan untuk pengembangan sarana, peningkatan kualitas dosen, dan beasiswa bagi mahasiswa. Namun, berbagai pungutan pajak—mulai dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, hingga Pajak Bumi dan Bangunan—masih menjadi beban yang cukup besar di tengah pendapatan yang terbatas.
Saya menilai, penghapusan pajak bagi kampus non-profit bukan sekadar keringanan, tetapi bentuk keadilan. Pendidikan, apalagi yang dijalankan dengan semangat sosial, semestinya dipandang sebagai investasi negara untuk masa depan. Dengan penghapusan pajak, dana operasional kampus bisa lebih difokuskan pada sarana prasarana serta peningkatan akses bagi mahasiswa kurang mampu.
Fakta yang ada, untuk mendapatkan mahasiswa saja kampus swasta masih berharap pada bantuan KIP pemerintah.
Maka dari itu, saya harapkan pemerintah kota Palembang bisa turun langsung melihat situasi dan kondisi yang dihadapi pada dunia Pendidikan sekarang. Semua bisa dilihat pada laporan keuangan maupun jumlah mahsiswa pada setiap kampus, pemkot Palembang bisa menilai laporan tersebut dengan secara real dilapangan.
Dengan demikian jika pemerintah kota Palembang serius ingin meningkatkan kualitas pendidikan tinggi dan pemerataan akses belajar, maka penghapusan pajak bagi kampus swasta non-profit layak menjadi bagian dari agenda reformasi fiskal di sektor pendidikan. Jika diterapkan pada zaman Ratu Dewa dan Prima Salam maka kebijakan ini merupakan udara segar bagi kampus swasta non-profit.
Besar harapan saya untuk meningkatakn pendapatan daerah bukan disasar dari dunia Pendidikan, melainkan dari sector bisnis, usaha, hiburan, retribusi jasa, BUMD, pariwisata maupun sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat.














